Tiga
Macam Bahasa
Ada suatu saat dalam
hidup saya dimana terasa bahwa bahasa mengalami polusi, erosi, dekadasi,
abstraksi. Orang demikian percaya bahwa
komunikasi bahasa kebudayaan manusia telah sedemikian clear. Ketika saya
sadari,bahwa komunikasi antar manusia itu sesungguhnya tidaklah segamblang yang
selalu diduga orang, maka nampak bahwa subtansi ataupun nuansa setiap kata
bahasa sebenarnya telah mengalami erosi.
Bahasa itu sendiri hanyalah merupakan ungkapan ala kadarnya dari isi
maksud seseorang, entah itu bahasa verbal, bahasa gerak, isyarat, simbol atau
berbagai modus komunikasi lainnya.
Tetapi ketika makin banyak di antara manusia tak punya lagi keraguan
terhadap kebenaran komunikasi bahasa, maka saya melihat suatu erosi. Seseorang menyebut matahari, dan orang
seseorang lain dengan gampang bersepakat bahwa masing-masing orang adalah
subyektivitas, yang memiliki isi dan rasa pengalaman bahasanya sendiri-sendiri,
maka tentu matahari dan matahari ada bedanya.
Tapi kalau kata-kata
itu baik,saya mengerti kamu, maka
seberapa jauh makna dan jaminan mengerti
itu. Kalau kata-katanya adalah demi
stabilitas nasional, maka tank bisa beradu karena makna yang tidak bisa
ditemukan. Tidak juga puisi absurd untuk
memberi contoh tentang hukum komunikasi yang multi-interpretable. Bahkan ketika ada teman yang bilang apa
kabar? Dan saya jawab baik!, ini bukanlah komunikasi yang clear. Kita saling tersenyum dan meras telah berada
disatu dunia pemahaman, padahal masing-masing dengan abstraksinya
sendiri-sendiri.
Ditengah keriuhan mulut
kita sehari-hari, sesungguhnya berlangsunglah abtraksi-abtraksi subyektif
itu, dan ketika di dalam diri kita,
kemauan kita menjadi beku untuk bersedia mengorek dunia orang lain sejauh
mungkin, lewat bahasa ungkapannya, maka gejala dekadensi bahas bisa
muncul. Tatkala seorang penguasa di
depan bawahan-bawahannya atau rakyatnya menguraikan suatu interprestasi tentang
pancasila, dan uraian itu semata-mata berangkat dari kepentingan kepenguasaanya,
sehingga memungkinkannya memenipulasi bahasa, pengertian dan makna-makna, maka
dekadensi bahasa benar-benar telah terjadi.
Menjadi nyata bahwa bahasa tidak hanya menjadi berada dalam harafiahnya,
tetapi juga dalam konteks kebudayaan dan kehidupan.
Dan kalu kita berfikir
bahwa bahasa memang adalah komunikasi, kehidupan manusia maka sesungguhnya
bahasa tidak pernah berada ansich dalam verbalitasnya, melainkan terutama dalam
totalitas keberadaannya atau fungsinya dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, bahasa juga tidak pernah
berhenti begitu selesai diucapkan. Ia
adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Tunduk kepada ruang dan waktu. Bahasa hanya bisa diidentifikasikan
berdasarkan totalitasnya dalam ruang dan waktu.
NAMA :
DEPIN SARASATI
NIM :
016887584
0 komentar:
Posting Komentar