KASIH DALAM DIAM
Kisah ini dari kota yang berada di tengah pulau jawa yang kejam akan dunia dan lupa akan alam keabadian. Ibu, tiga huruf yang menyatu dalam kata. Terukir dalam hati dan terbesit dalam setiap angan dalam lamunanku. Ibu, adakah panggilan yang lebih indah dari ini? Adakah yang lebih baik dari kasihmu yang tulus tiada henti mengalir, tanpa keluh kesah tiada akhir engkau menemaniku?. Beliau adalah sesosok manusia biasa yang memiliki jiwa yang luar biasa, dalam keterbatasan ada senyum yang menghiasi wajahnya, dalam keterbatasan kesabaran beliau mampu bertahan tanpa tangisan, dalam hidup beliau tidak pernah mengeluh apa yang dia milik adalan anugrah terindah dari Tuhan. Dalam hidupnya beliau memiliki keterbatasan, tetapi beliau menerima tanpa dendam hatinya. Hatinya yang lapang, tak henti-hentinya bersyukur. Keterbatasn yang biasa menjadikannnya panutanku yang luar biasa. Ibuku adalah seorang pemulung yang mempunyai kekurangan dalam hal berbicara, bisu dan tuli diembannya dari beliau masih balita. Ayahku mencintai ibuku karena iya sesosok yang luar biasa, yang bisa meluluhkan hati siapa saja yang mengalami kegagalan hidup. Semasa muda, ayahku adalah pemuda yang bias dikata sempurna dalam fisik tetapi tidak untuk mental. Suatu ketika, ayahku putus asa sesaat dirinya dinyatakan tidak diterima kerja di suatu PT yang beliau lamar. Di taman kota, beliau frustasi bahkan hampir bunuh diri dengan pisau cutter yang dipegangnya. Ketika itu, ibuku memunguti sampah dan kebetulan pegawai sampah kewalahan membersihkan rumput, ibuku disuruh membantunya tetapi tidak punya alat. Dan ketika itu pula ibuku bertemu ayahku, dengan konyol ibuku langsung meraih cutter yang ada di tangan ayahku. Lantas sentak kaget di muka ayahku, ada wanita kumuh dengan berninya mengambil cutter itu. Rona ketidaktahuan ibuku datar tak terendus lalu berkata,” djangan! , tsaya binjam tsadja (menggerakkan telunjuk sambil geleng-geleng). Ayahku melongoh dan tidak bisa mengerti apa yang dikata ibuku, lantas ibuku berucap lagi, “ khiduuuup idju dtaaaak tsemutdah mmmengais bdan bduudnuuh tdiriii, dtabi tsuliitt bderrtsyyuuutuurr,djadji rang djangan emah atkan teadaan juangglah ngan dtakut dgagal, trentcana Ongloh biih iinnndahh “ .lantas ayahku menafsirkan nya hidup itu tak semudah menangis lantas bunuh diri, tapi sulit untuk mensyukuri, jadi orang jangan lemah dengan keadaan, berjuanglah jangan takut gagal karena rencana Allah lebih indah. Dengan terperangah ayahku terbengong, dengan sigap ibuku meninggalkannya dan langsung merapikan rumput yang disuruh oleh pegawai kebersihan kota. Ayahku memandang penuh keharuan, wanita itu mempunyai keterbatasan tetapi dia lebih baik dariku dalam menjalani hidup ini, aku kagum dengan semangat hidupnya,”kata ayahku dalam hati. Setelah pekerjaan ibuku selesai, diam-diam ayahku mengikuti wanita yang lusuh itu sampai rumah yang mungkin dibilang tak layak huni, hanya selembar kerdus dan setumpuk barang rongsokan yang tertimbun. Sungguh miris hati, ternyata ada yang lebih buruk dari nasibnya. Sehari setelah itu ayahku berjuang hidup mencari pekerjaan walaupun jatuh bangun, dirinya tetap harus berdiri. Setiap hari beliau menanti ibuku di taman walaupun hanya sekedar melihatnya dari jauh. Waktu kian berlalu, hati ayahku tidak bisa berdusta lalu dilamarlah ibuku dengan penuh malu sayu, ayahku berkata,” walaupun kau sendiri disini, tapi janganlah merasa kesepian. Aku akan ada disampingmu, sampai nanti kelak aku dipanggil yang maha kuasa, bersediakah kau menjadi ibu dari anak-anakku yang mendampingiku dengan kekuranganku? Aku bersedia menuntunmu ke Ridho-Nya, kan ku pertanggungjawabkan semua akhlakmu insyallah surga Allah dijanjikan untuk kita.” Ya?, dengan anggukan ibuku menjawabnya. Pernikahan menjadi awal yang indah untuk berjalan untuk mengarungi indahnya berumah tangga. Ayahku yang bernama Suratno Wijaya memboyong ibuku, sri lestari di kediamannya, dan mulai saat itu ibuku berhenti memulung. Ayahku berkerja menjadi tukang pijit, iya memang tidak menentu tetapi mereka berusaha untuk merasa cukup akan hidup ini. Ayahku memang yatim piatu, tak kaget bahwa dirinya hidup kesepian. Dengan setia ibuku menemani beliau, tak kunjung lama mereka dikaruni seorang putri. Sasa Adifsa , itulah namanya. Di usia keduaku ayah meninggal, dikarenakan kecelakaan yang tragis bahkan tidak diketahui siapa pelakunya. Ibuku pun menjadi pemulung lagi mengambil alih membesarkanku seorang diri, iya dia hanya dapat menganggung dan menggeleng. Setiap pagi beliau mengantarku sekolah taman kanak-kanak walaupun diledek tapi beliau adalh ibuku. Sampai SD beliau masih mau menggendongku sampai aku berani ke sekolah sendiri. Sampai suatu saat ketika ku duduk di SMP ada seorang teman laki-laki,namanya Reno yang teramat istimewa untukku, dia selalu melindungiku di sekolah tiba saat bekal makan siangku tertinggal, ibuku mengantar ke sekolah. “teng-teng itulah bunyi bel berbunyi, mempertandakan istirahat pada saat istirahat ada seorang gadis yang menyukai Reno dia memarahiku karena selalu berdekatan dengan Reno. Kami berselisih paham, dan saat itu tiba ibuku di sekolah dengan baju compang-camping yang tak layak pakai. Sandal kaki pun tak punya, begitu mirisnya hatiku saat itu ketika temanku Via yang mengataiku anak pemulung bisu, sungguh air mata ini tak dapat henti mengalir. Ibuku yang saat itu berkata, “ hnak, tsudah djangan. Hni bdekalnhna ktinggallan nak, hmakanlah… “ aku luluh akan perkataan ibu, tetapi air mataku sudah menetes di pipi tidak dapat tertahankan perasaan malu. Aku pun berlari di kamar mandi meninggalkan ibuku dan teman-temanku yang mengejek dan memanndang ibuku sebelah mata, rasanya dunia ini tak adil akn apa yang Tuhan berikan aku tak berdaya dengan celotehan teman-temanku. Ibuku pun mengikutiku samapai akhirnya diriku membentak beliau, “ ibu pulang saja, sasa malu bu”..dengan sesakan nafas yang terengah-engah dan perkataan yang tersendat-sendat. Ibu pun pulang dengan bekal yang masih di tangan menyesal dengan apa yang telah terjadi, dan air mata yang tidak bias tertahankan lagi. Bel pulang sekolah pun berbunyi, menandadakan jam sekolah telah usai, aku pulang berpapasan dengan Reno. Aku pun langsung berlari menghindar, seperti aku tak berdaya dan tak punya muka lagi. Sesampainya di rumah ibuku sudah menyiapkan makanan kesukaanku, dipanggilnya diriku karena ku datang langsung masuk kamar tanpa menghiraukan ibuku. Sampai malam tiba ku tak keluar ibuku masih setia menantiku di meja makan tanpa beliau makan, hatiku terlalu egois menerima ini semua. Ibuku memang pemulung dan beliau memang bisu, dan itulah kenyataannya. Tiba pukul 02.00 WIB aku keluar kamar dan menuju kamar mandi dengan membawa pisau, ibuku yang tertidur di meja makan tanpa tahu aku berjalan melewatinya, kututup mata ini karena aku tidak sanggup lagi menerima apa yang Tuhan berikan, darah pun kemana-mana. Ibuku yang terbangun langsung terperangah melihat pintu kamarku yang terbuka, ditengoknya tetapi diriku tidak ada di kamar. Beliau kebingungan, larilah beliau menuju kamar mandi pintunya terbuka dan melihat diriku berlumuran darah dan beliau sentak membopongku ke Rumah Sakit, tidak ada kendaraan umum pada saat dini hari ibuku terus berlari-berlari dan tak merasa kesakitan kakinya terkena pisau yang kupakai tadi. Beliau masih berjalan semampunya tidak menghiraukan apa yang dirasakan yang ada dipikarnnya hanya aku selamat. Sesampainya di rumah sakit diriku kehabisan darah, butuh donor tetapi stok rumah sakit sedang habis. Dengan merelakan diri ibuk berkata, “ ambiiillah nddarah tsaya tyang pting annak tsaya celamat” dokter mengeri dan mengambil darah ibuku, setelah itu ibuku berbaring disampingku menatapku yang siuman. Ibuku lantas memelukku dalam gelap dia masih berusaha membawaku ke rumah sakir alangkah mulianya kasihnya, walaupun beliau tidak bias bicara beliau masih ada kasih yang ada direlung hatiny teruntukku, maafkan aku ibu. Kasihmu memang sepanjang masa, kau rela mengorbankan apapun walaupun nyawamu engkau berikan pula. Kasih dalam diam, tulus mengalir dari hati ibuku yang sempurna. Walaupun setelah ku siuman ibuku telah menghela nafas terakhirnya, ibu kau adalah pelitaku dalam gelap dan kaulah segalanya. Sesempurna hidupmu untukku, semoga engkau tenang disana. Terimakasih ibu. Kasihmu selalu ada disetiap detak dan nafasku ini.
0 komentar:
Posting Komentar