Secarik Nasionalime
Oleh : Depin Sarasati
Semua orang pasti membutuhkan kesejahteraan, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya kesejahteraan, namun ada juga yang merasa kurang akan apa yang didapatkannya karena penghianatan terhadap negerinya.
Proses menjadi sejahtera, adalah PR terbesar di Negara Indonesia ini dari pelosok hingga berbeda dengan perkotaan. Dari pelosok menjadi perkotaan membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan dari pemimpin negeri ini, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya.
Pemimpin yang kami harapkan selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati kecilnya menangis. Pemimpin bukan lagi panutan :kemerdekaan telah bertepuk sebelah tangan, mereka bangga akan kejayaan, mereka menelan batang tubuh saudara, mereka menenggelamkan para jelata, Merekalah sang buta keadilanInilah fakta yang terkubur dalam
***
Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di sekitar rumahku, yang berdinding kayu yang using dimakan usia dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah mainan yang melambungkan gelembung di udara,“Abil”, panggil kakekku.Ya, itulah namaku anak kecil yang ditinggal orang tuanya merantau di negeri sebrang “ Malaysia".
“Kak Abil..tidak ada kegiatan lain selain bermain gelembung itu kak?” Tasya, dia adalah adik perempuanku.
“Tidak ada hal yang menenangkan hatiku selain ini,Sya.” Jawabku.
“Kakak kenapa?” Tanya Tasya. Dia ini selalu paham dengan perasaanku. Dia tau bahwa aku sedang rindu kasih sepasang orang tua.
“Hmm..sudahlah dik, yang penting kita belajar biar pinter ya. Supaya ayah bangga dengan kita.” .
Aku adalah seorang pelajar Sekolah Dasar di sebuah desa kecil di perbatasan Malaysia, bertempat tinggal di Pulau Borneo yang haus akan kemakmuran Negara ini. Memang ayahku lahir disini, tetapi beliau berdagang di Malaysia. Kami tinggal bersama kakek, seorang pejuang yang tidak diakui pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan di negeri ini. Ibu dan Nenekku sudah meninggal, sejak adikku dilahirkan di dunia ini. Duduk di kelas 4, dan umurku 9 tahun. Sekitar sepantaran umur adikku 8 tahun kami ditinggalkan oleh beliau.
Suatu ketika ayahku pulang dari Malaysia, beliau memberikanku pistol-pistolan dan boneka untuk adikku. Kata ayah,” kalau kalian mau mainan lagi, ikut ayah ke Malaysia ya..?” sentak hatiku kaget, tetapi kami berdua hanya diam sambil asyik memainkan mainan baru kami masing-masing. Kemudian ayahku mendekati kakek, dan bertanya,” pak maukah bapak pindah ke Malaysia denganku?”
“ tidak nak, bapak lebih makmur dan sejahtera di sini. Negara Indonesia ini kaya nak, apa-apa ada.”
“itukan jawa saja pak, pelosok seperti kita ini apa yang bias dibanggakan?, uang disini ringgit yang berlaku, fasilitas dan pendidikan anak-anak ada di Malaysia semua, bahkan lebih baik dari Indonesia pak. Bapak sudah tua, kesehatan disana jauh lebih memadai, kalau bapak tidak ikut biar anak-anak saja.”
“ bapak tetap akan tetap tinggal disini nak, pengabdian bapak dan kecintaan bapak sudah ada disini Indonesia. Pengabdian bapak kepada pemerintah untuk menjaga perbatasan ini belun usai nak, bapak sejahtera dan bahagia disini.
“tapi pemerintah tidak menganggap bapak, masa bodo dengan pengorbanan bapak.”
“ iya, tapi bapak mengabdi bukan untuk pemerintah, tapi negri ini!”
“ yasudah, biar anak-anak saja yang saya bawa ke Malaysia”
***
Di sekolahku, hanya tersekat dengan dinding kayu dan tak layak pakai, setahun lalu sekolah kita tidak ada guru dan memperpurukkan pendidikan di desa kami, sungguh miris rasanya lantai yang terbuat dari kayu sudah lapuk dimakan usia, dan kadang kaki kami terperosok karenanya, sugguh kami adalah manusia yang tak kalah akan keadaan. Pelosok Kalimantan yang rimbun akan hutan dan kaya akan perikanan. Untuk mencapai sekolah kami rela menyebrang sungai besar, hingga harus berbasah-basahan, bahkan tidak ada sandal yang kami pakai. Beginilah hidup di pelosok negri yang makmur, katanya. Bu Asih adalah guru kami satu-satunya yang ada. Aku duduk di kelas 4 dan Tasya duduk di kelas 3. Kita sama-sama belajar di ruang yang sama dan guru yang sama juga. Ibu guru menyuruh kita untuk menggambar merah putih,” semua selesai anak-anak?, coba tunjukkan ke ibu bendera Negara kita Indonesia, Negara kita tercinta ini.”
semua mengangkat karya masing-masing, terus ibu guru hanya tersenyum tersipu bahkan kaget dan berkata, “ kalian semua benar memang merah putih, tetapi lebih tepat punyanya Abil dan Tasya, iya merah diatas dan putih dibawah berbentuk persegi panjang.” Ketika pulang, kami ditanya oleh Ibu Asih, kalian tahu dari siapa nak bendera Indonesia?” lantas kami menjawab, “ dari kakek bu..(sambil tersenyum dengan bangga), kakek kami seorang pejuang yang mengabdikan diri di perbatasan ini bu, beliau adalah pahlawan untuk negeri ini, setiap malam sebelum kami tidur selalu diceritakan dulu ada panglima perang dan kakek dengan pistolnya “door door door” mengusir mereka dari area sini bu.kakek juga punya benderanya.”
Sesampainya di rumah, kami bertemu ayah dan ditanya, kalian maukan ikut ayah ke Malaysia? Abil akan dapat pistol-pistolan lagi dan kamu tasya ayah akan belikan kamu boneka, kalian akan punya ibu disana. Kakek ikut ayah? Tanya Abil.
“kakek tidak ikut Abil, kakek disini saja. Perjuangan kakek selama ini untuk negeri ini biarlah tidak sia-sia Abil.” Terus kakek disini sama siapa? Sama Bu Asih dan kepala Suku Abil. Abil? Tanya kakek. Abil disini sama kakek, di Indonesia sampai nanti ini tumpah darah kita, tanah air kita yang harus dibanggakan kek. Tasya dibujuk oleh ayahnya, “ tasya ikut ayah ya nak, nanti kak Abil menyusul sama kakek. Iya yah” sahut Tasya. Kemudian kami berpisah dengan ayah dan tasya, aku dan kakek tinggal bersama. Waktu adik tasya pergi, “ ini kan mainan gelembung buat kakak, tasya saying kakak. Sambil melambaikan tangan meninggalkan kami.
***
Seminggu kemudian ada seorang dokter dari Bandung datang untuk bertugas, karena dokter yang bertugas sudah meninggal, waktu saleh, adalah teman sebangkuku di sekolah. Dia membawakan tas pak dokter sampai di rumah kepala suku, 2o ya om” kata saleh menawari. Iya,.diberinya uang 50 ribu. Ini uang apa om? Lantas berlari ke rumah bu Asih, bapak dokter mengikuti dan merasa heran. Ketika bertemu bu Asih, bu Asih tersenyum dan ditukarnya dengan ringgit. Lantas bapak dokter bertanya, bu kenapa disini uang yang berlaku ringgit padahal disini adalah wilayah Indonesia?
“ iya pak, memang disini perbatasan bapak kepala suku juga memakai ringgit, karena perdagangan disini menggunakan ringgit.
“ini bahaya bu, rasa nasionalisme bias luntur untuk anak-anak negeri kita.”
pak dokter,pak dokter kakek saya sakit pak dokter. Kata Abil sambil panic, diperiksanya kakeknya, kata pak dokter kakek butuh perawatan di rumah sakit. 400 ringgit untuk pulang pergi sampai ke rumah sakit dok, celah bu Asih. Yasudah ini saya kasih obatnya tapi untuk sementara ya bil,.
Selama 7 hari abil tidak masuk sekolah dia bekerja menjual rotan dan kain di Malaysia, hingga akhirnya dia mendapati pedagang yang memakai kain merah putih untuk alas lapak, dia berinisiatif untuk menggantinya dengan kain yang dibawanya. Akhirnya ditukarkan. Dengan haru, dia berlari membawa bendera pulang dan bernyanyi Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya..
Sesampainya dirumah dia mengajak kakekny, dokter, dan bu Asih untuk mengantar ke rumah sakit, tetapi tuhan berkehendak lain. Kakek menghela nafas yang terakhir, dan akhirnya berpesan jadilah orang besar di negeri ini, abdikan apapun yang kamu miliki untuk negeri ini. Ashaduallaiillahailallohmuhammadar rosululloh..”kakek…..”teriakan abil.
Sejak itu, abil belajar hingga akhirnya menjadi tentara penjaga di perbatasan Malaysia. Ayah dan adiknya pun ikut ke Indonesia sejak meninggalnya kakeknya.
***
selesai
***
0 komentar:
Posting Komentar